Just Brother and Sister


*Nuy Kim*


Hari ini adalah hari pertama aku masuk kembali ke sekolah  MA Manahijul Huda. Setelah liburan sekolah kemarin, selama satu minggu. Rasanya seneng banget bisa masuk ke sekolah lagi. Selain bisa kumpul bareng sama temen, aku juga seneng karena bisa bertemu sama kakak kelas yang aku sukai. Siapa lagi kalau bukan kak Sildam,  kakak kelas yang paling ganteng dari semua murid laki-laki di sini. Dan satu lagi, kak Sildam ini kakaknya Adel loh makanya  aku sering  tanya-tanya soal kak Sildam ke Adel. Adel pernah curiga sih kalau aku suka sama kak Sildam. Tapi, aku ngelak,  jadi  Adel gak tau sampai sekarang kalau aku suka sama kak Sildam. Iya, terlebih lagi  Adel ini temen sebangkuku. Lebih tepatnya si sahabat aku gitu. Walaupun Adel baru kelas X tapi Adel udah berprestasi banyak  loh di sini. Bangga si punya sahabat kayak Adel. Selain dia cerdas dia juga baik hati.  Hampir temen sekelas suka sama dia.  Sempet ngiri juga aku. Tapi aku sadar kok, mana mungkin aku bisa seperti Adel.
“Dea?”
“Adel?” aku menoleh ke asal suara.
 Aku masih tidak percaya kalau yang datang adalah Adel. Soalnya Adel pernah bilang kalau dia gak masuk saat sekolah pertama. Soalnya dia masih di rumah neneknya yang ada di Jepara.
“Hayohh! Kaget ya, aku dateng ke sekolah?” Adel tersenyum ke padaku.
“Hehehe, iya, Del. Kamu si kemaren bilangnya gak masuk sekolah, kan aku jadi kaget”
“Hahaha, ya udah ayok ke kelas!” ajak Adel.
Aku dan Adel segera memasuki kelas karena jam pertama akan segera dimulai. Tapi, hari ini masih agak santai soalnya baru pertama masuk sekolah jadi, cuman pembagian LKS semester genap sama absen.  Setelah itu siswa-siswi pulang. Tetapi, lain dengan Adel. Kan Adel anak IPMA, jadi dia harus rapat terlebih dahulu.
“Eh, Dea?”
“Iya, Del. Ada apa?”
“Kamu pulangnya sendirian aja yah! Soalnya aku ada rapat IPMA mendadak nih, tadi ketua IPMA bilang ke aku.”
“Hehehe, iya, Del.”
“Kamu gak apa-apa kan, Dea. Pulang sendirian?”
“Iya, gak apa-apa kok.”
“Ya, udah aku pergi dulu yah! Udah telat 1 menit nih, dahhh... see youu Dea.” Adel melambaikan tangannya ke padaku. Tapi, kini lambaian itu sudah tak terlihat lagi keberadaannya.
 “Huh sebenernya males banget pulang sendirian. Tapi mau gimana lagi, Adel ada rapat IPMA.” Gerutuku dalam hati.
“Adel?” aku menoleh ke asal suara.                                                                                 
“Eh, maaf aku kira tadi Adel”
“Kak Sildam, yah! Kakaknya Adel.”  Jawab Dea mantap.
“Iya, Adel, kemana?”
“Oh, Adel, ada rapat IPMA kak.”
“Kebiasaan dah tu anak gak pamitan dulu. Oke thanks ya, udah ngasih tau. Emm sorry juga tadi udah manggil kamu Adel,  soalnya dari belakang hampir mirip. Oke byee.” Kak Sildam langsung bergegas pergi meninggalkan sekolah.
Akupun juga bergegas pulang. Aku masih agak kesal sama Kak Sildam, soalnya dia bilang kalau aku mirip Adel. Memang sih gak satu atau dua orang yang bilang kalau aku mirip sama Adel. Semuanya sama, mulai dari rambut, cara berjalan, bentuk tubuh, sampai tasnya juga sama.  Jadi,  gak salah orang bilang kita itu kembar. Yang membedakan kita itu cuman satu yaitu kita beda orang tua dan juga beda kemampuan. Adel pinter, populer lagi. Sedangkan aku? Beda jauh dari Adel; gak pinter juga gak cerdas ya. Sedanglah. Yang pasti kita gak kembar kok. Tapi  seneng juga si kalau di bilang mirip sama Adel. Tapi kok kak Sildam gak bisa ngebedain ya? Padahal mereka kan satu rumah. Haduh. Udah lah.
                                                                        ****
Sesampainya di rumah akupun segera membersihkan diriku dan mengganti baju seragam dengan baju sehari-hari. Baru saja aku mau memejamkan mataku, tiba-tiba hp-ku bergetar.       
        Dreeet...Dreeett.” (1 massage from Adel)
                   Aku segera  membuka pesan dari Adel.
        Selamat siang Dea sayang, emm maaf  ya tadi ninggalin kamu.
                   Akupun membalas sms dari Adel,
   Hahaha gak apa-apa kali Del, lagian aku juga udah biasa kok pulang sendirian J.
   Hehehe, eh iya, besok kan hari jumat berhubung juga ulang tahunnya Kak Sildam, mau gak Del, dateng ke sini?
       Hahhh? Yang bener Del? Wah, seru dong besok?
   Iya Del, kayaknya gitu. Besok temen sekelas Kak Sildam juga di undang. Jadi besok harus dateng yah!
       Okelah,, beres.
       Eh, tapi jam berapa?
   Jam 19.00, Dea sayang. Udah yah lagi sibuk nih nyiapin buat besok nih. See you tomorrow.
       Oke.. See you to, Del.
                                                                        ****
Siangpun menjadi malam, malampun menjadi pagi, pagipun menjadi siang, siangpun menjadi malam lagi. Yah, benar malam ini adalah malam special bagiku. Karena apa? Karena Kak Sildam ulang tahun dan terlebih lagi aku diundang. Ya, walaupun yang ngundang itu Adel sih. Tapi aku bangga kok karena aku masih bisa dateng ke acara itu. Sedari tadi aku belum siap-siap  padahal acara di mulai jam 19.00. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 18.30. Tinggal beberapa menit lagi. Aku sibuk membolak-balik baju yang kira-kira pantes buat aku pakai. Tapi nihil banget, aku belom bisa nemuin. Untungnya ada Mama yang mau membantu mendandani aku.
“Mau keman sih sayang? Kok gitu amat cari bajunya? Mau datang ke pesta pacar yah?” Aku kaget dengan perkataan mama barusan.
“Iihh,, Mama. Enggaklah. Dea mana mungkin punya pacar, kan kata mama gak boleh pacaran dulu kalau masih MA. Nanti aja kalau udah kuliah baru boleh” Jawabku santai.
“Hahah iyah, iya sayang.”  Akupun bergegas pergi ke rumah Adel.
“Mah, pergi dulu ya! Udah telat nih, Assalamualaikum.” Mamahku hanya  bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat kelakuanku barusan.
                                                                        ****
Sesampainya aku di rumah Adel, Adelpun menyambutku dengan sebuah senyuman. Aku bisa menyimpulkan kalau Adel sangat senang dengan kedatanganku.
“Deaaaa”, teriak Adel kegirangan. “Akhirnya kamu datang juga. Aku udah nunggu lama loh! Ya udah, ayok masuk!”
Aku dan Adelpun memasuki ruangan tempat berlangsungnya acara ulang tahun Kak Sildam.
“Del? Kak Sildam mana? Aku mau ngucapin selamat ke dia.” Tanyaku sembari mencari orang yang aku maksud; Kak Sildam.
“Oh, Kak Sildam, itu dia ada di taman.” Adelpun menunjuk tempat dimana Kak Sildam berada. Pandanganku terhenti melihat seorang cewek cantik dan juga anggun.
“Del, itu siapa?”
 “Oh, itu Kak Rina, pacarnya Kak Sildam. Udah lama mereka pacaran, kira-kira 1 tahun.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Adel.
“Del, kok kamu gak pernah bilang kalau Kak Sildam punya pacar?”
Adel hanya bisa terdiam mendengar pertanyaanku barusan.
Tak terasa ternyata air mataku terjatuh dan membasahi pipiku. Asalnya aku menahan air mataku agar tidak jatuh. Tapi nihil. Rasanya tambah sakit sekali dan sesak. Adel kaget saat melihat pipiku yang sudah basah dengan air mata.
“Dea?” panggil Adel Lirih.
“Aku gak apa-apa kok Del.”
 “Dea, kenapa nangis? Dea suka yah sama Kak Sildam? Maaf  ya Dea, selama ini aku gak bilang kalau Kak Sildam udah punya pacar” Adel agak khawatir dengan keadaanku.
Aku masih terdiam dengan beribu bahasa.
“Adel?” panggilku lirih, “Adel, Aku mau pulang! Salam yah buat Kak Sildam, dahh!” Aku melambaikan tanganku kepada Adel. Daripada aku tambah sakit disini, mendingan aku pulang. Tapi tetep aja masih sakit dan juga sesak.
 Ya, beginilah yang namanya jatuh cinta. Kalau kita siap untuk jatuh cinta berarti kita harus siap sakit hati juga. Thanks Kak Sildam, selama ini aku sudah diizinin untuk mencintai kakak. Seharusnya kita itu kakak dan adek buka pacar. Okelah mulai sekarang aku akan menganggap Kak Sildam sebagai kakak aku. Ya, tepatnya just like brother and sister. Aku juga akan menghapus rasa sukaku ke Kak Sildam. Semoga Kak Sildam bahagia sama Kak Rina. Aku ikhlas kok Kak. {}
*****

Oleh: Nur Hidayah (X-B) MA Manahijul Huda Ngagel Dukuhseti Pati
***
    
 PLAGIAT                                           
 *Alfiriz Nadhira*

Suatu saat yang tiba!

Mungkin saat ini aku pantas berbangga hati. Sebab, apa yang kuimpi-impikan sedari dulu kini mampu ku genggam dengan kedua tanganku. Apa orang mulia itu sudah melihatku? Kalau benar sudah, aku ingin melihat tanggapannya padaku. Orang itulah yang telah berbaik hati menumbuhkan semangat besar dalam hidupku. Kalau bukan karnanya, mungkin saat ini aku takkan seperti ini. Bila aku dapat kesempatan untuk bertemu denganya kembali, akan kuucapkan ribuan rasa terima kasihku padanya. Dan, aku tetap ingin melihat senyum kemenangannya itu.Omong kosong!!Entah bagaimana bisa guru itu mengcapku sebagai seorang plagiator?  Sedang, ia hanya melihatku dari satu sisi. Dan mungkin itu di bagian sisi burukku. Karangan kecil yang ku bacakan di hadapannya itu benar-benar telah kutulis dengan tanganku. Dan, aku tak meniru atau menulis ulang tulisan  orang lain. Atau mungkin, cerita dalam tulisanku itu hampir sama seperi tulisan-tulisan pengarang besar yang tak kuketahui tulisannya. Atau, dari kualitasnya menyamai tulisan penulis kondang? (Aku belum bisa menebaknya). Namun, tak sepatutnya seperti ini yang kuterima. Selama semalam suntuk sudah kucoba selesaikan tulisan itu, dan yang kudapat adalah perlakuan seperti ini. Apa ia sengaja ingin mengetes mentalku di hadapan teman-temanku? Bagaimanapun, hal ini sudah mempermalukanku.Diam-diam kucoba perhatikan tatapan mereka. Ada yang menatapku dengan tatapan kasihan, wajah kurang terima (itu kawanku), juga wajah bahagia. Tragis!“Seorang plagiat itu bisa masuk penjara Rara!”, ujar guru yang dulunya kubanggakan itu. Memang aku bukan plagiat. Tapi, mengapa saat ini aku dipenjara oleh kebungkamanku sendiri? Aku tak bisa  membela diri di hadapan mereka.“Rara itu bukan plagiat, Bu. Dia itu nulis sendiri.” Sebuah teriakan terdengar dari arah belakang. Kata-katanya memang kurang sopan. Seorang temanku yang bersuara.“Kalau begitu, mana buktinya? Apa ada diantara kalian yang melihatnya mengarang secara langsung?” tukasnya seketika meruntuhkan harapanku. Jelaslah tak ada lagi yang bersuara membelaku. Karena malam itu, aku seorang diri menulis (seperti kebiasaanku) tak pernah ada orang lain yang kuperbolehkan mengetahuinya.“Jelaslah sekarang. Bahwa Rara itu seorang plagiat. Saya memberi kalian tugas untuk mengarang sendiri. Bukan meniru karya orang lain.” Katanya kasar. Entahlah, mengapa aku  sebungkam ini di hadapannya. Guru sastra itu benar-benar mengecohku. Senyum kemenangannya itu membuatku terpuruk dalam sendu nestapa.“Rara saja diam. Itu semakin membuktikan bahwa tuduhan saya benar bukan?  Kalian harus tahu, saya seperti ini karena saya tidak mau anak didik saya akan nampak bodoh nantinya. Kalian harus berusaha sendiri, ciptakan sesuatu dari tangan kalian itu.” Timpalnya lagi. Kata-katanya bagai sang panglima yang ingin mengobarkan semangat pasukannya . Hatiku menangis tapi wajahku meringis. Mencoba bermain drama dengan orang yang digugu dan ditiru ini. Dramatis!Dan, sejak saat itu. Aku bukan lagi aku. Sebuah tekad yang membara tiba-tiba tumbuh menjalar di sekujur relung sukmaku. Tak perlu dengan kata aku melawannya. Iya, aku akan berusaha, berdo’a semoga Tuhan membantuku. Aku akan membuktikannya suatu saat nanti! Akan kubuktikan padanya, ia, guru itu, akan tahu bahwa penilaiannya terhadapaku adalah salah. Dan, di kemudian hari nanti, aku akan melihatnya tersenyum sipu menyesali perlakuannya terhadapku saat ini. Dia, guru itu, benar-benar akan tahu apa aku pendendam atau tidak? Bukan, aku hanya ingin memberi sesuatu untuknya juga untukku. Suatu saat nanti!                                                                         

    ***
Oleh: Alfi Rizka Nadhira (XI-MAK) MA Manahijul Huda Ngagel Dukuhseti Pati 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Just Brother and Sister"

Posting Komentar

Comments